Sudah menjadi hal yang wajar jika orang tua mencurahkan semua perhatiannya kepada anak. Namun tahukah kamu bahwa perhatian ini juga perlu dibatasi, terutama jika anak sudah mencapai usia tertentu yang mengharuskan mereka mulai belajar sikap mandiri. Helicopter parenting adalah istilah populer untuk menjelaskan kondisi terlalu dekatnya orang tua pada anak hingga menghambat anak dalam mengembangkan karakter dan kebiasaan baik. Bayangkan bila suatu objek terus dikelilingi oleh helikopter, tentu pergerakannya tidak bebas dan tidak berkembang dengan baik. Perumpamaan tersebut yang membuat pola asuh ini dinamakan helicopter parenting. Mari mengenal lebih dalam terkait ciri, dampak, dan cara agar tidak terjebak di dalamnya.

Karakteristik Helicopter Parenting

Dalam jurnalnya, LeMoyne & Buchanan (2011)¹ menjelaskan arti dari helicopter parenting adalah pola asuh orang tua yang aktif membantu anak menyelesaikan masalahnya tapi tidak memberikan kesempatan atau ruang bagi anak untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Praktik pola asuh ini seperti helikopter yang melayang terus menerus di sekitar anak, bahkan saat mereka beranjak dewasa. Orang tua menggunakan banyak cara untuk mengelola kebutuhan anak-anaknya secara detail. Bahkan tugas atau tanggung jawab pribadi anak juga dikerjakan orang tuanya.

Selain itu, orang tua dengan model pengasuhan ini memiliki karakteristik cemas atau gelisah berlebihan ketika anak melakukan aktivitas yang wajar pada usianya. Misalnya, jatuh dan terluka saat bermain atau menangis saat mendapat nilai kurang baik. Orang tua juga terlalu banyak memberikan larangan dengan alasan melindungi anak namun sangat condong pada sikap posesif. Sayangnya, hal ini terkadang belum atau tidak disadari oleh kedua orang tua.

Dampak yang Diberikan

Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa helicopter parenting memiliki dampak yang tidak baik bagi perkembangan anak. Simak detailnya di bawah ini.

1. Gangguan Kecemasan pada Anak

Dampak pertama adalah timbulnya tekanan dan beban pikiran berlebih pada anak. Hal ini karena anak selalu dalam pantauan kedua orang tuanya. Anak akan tumbuh dengan risiko gangguan kecemasan yang besar karena selalu ada pengawasan dan larangan dari ayah dan ibunya. Saat gangguan ini diabaikan, kemungkinan besar inner-child mereka terluka dan menyulitkan perkembangan karakter anak. Penelitian Selviana dan Mulyawardanu (2023)², pola asuh helikopter berpengaruh negatif atau menurunkan kepercayaan diri remaja secara signifikan.

2. Sulit Mandiri

Di sisi lain, ada juga anak yang mungkin tidak merasa tertekan namun malah senang dengan semua bantuan kedua orang tuanya. Sayangnya bila hal ini dianggap sepele, maka bisa dipastikan anak akan selalu menuntut semua yang mereka inginkan harus terpenuhi. Tidak hanya soal mengambil keputusan, anak cenderung akan tumbuh dengan kemampuan bertahan hidup yang sangat sedikit dan sulit untuk mandiri.

3. Susah Mengendalikan Emosi Diri

Berdasarkan penelitian Love, dkk., (2019)³, orang tua dengan pengasuhan helikopter menjadi penyebab anak mengalami hambatan dalam mengembangkan keterampilan pengendalian emosi diri. Pada usia sekolah, anak bahkan mudah mengalami academic burnout karena sulit mengelola tingkat stres yang dihadapi di dunia pendidikan dan kehidupan pada umumnya. Anak juga cenderung kurang memiliki empati dan kepekaan sosial. Dampak pengasuhan ini juga sering dikaitkan dengan munculnya fenomena generasi stroberi.

Cara untuk Menghindarinya

Melihat dampak di atas, tentu kamu setuju bahwa menghindari pola asuh ini adalah hal yang bijak. Ada beberapa cara yang bisa dicoba agar tidak terjebak dalam pola asuh helikopter. Di antaranya adalah:

1. Memulai dari Diri Sendiri

Ayah dan ibu perlu memulainya dari diri sendiri dengan menaruh kepercayaan kepada anak. Berikan diri sendiri pemahaman bahwa setiap anak memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu sesuai usianya. Misalnya, anak usia batita boleh bermain lumpur dan pasir untuk melatih kemampuan sensorik mereka.

2. Melihat Progres Belajar Anak dari Jarak Jauh

Saat anak belajar dalam hal apa pun, berikan mereka waktu atau kesempatan untuk melakukannya sendiri. Ayah dan ibu hanya perlu melihat progres dan perkembangan mereka dari jarak jauh namun masih terjangkau. Berikan mereka bantuan saat anak memintanya dan kamu menilai bahwa hal yang diminta memang benar-benar tidak dapat dilakukan sendiri untuk anak seusianya.

3. Melatih Anak Memiliki Tanggung Jawab dan Sikap Mandiri

Latih anak untuk memiliki rutinitas tugas atau pekerjaan rumah secara bertahap. Misalnya, membiasakan anak mengembalikan mainannya sendiri setelah selesai digunakan. Meski sederhana, hal ini akan membantu mereka memiliki tanggung jawab dan sikap mandiri dari kecil.

Dukung Kesehatan Anak dan Keluarga Bersama Enervon

Untuk urusan memastikan kesehatan keluarga, ayah dan ibu bisa mendapatkan dukungan dari Enervon. Melalui kandungan yang dimiliki Enervon-C Plus Syrup siap menemani proses penerapan pola asuh terbaik. Komposisi multivitamin dan mineral pada kedua produk akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh. Ditambah dengan kemudahannya diakses melalui Tokopedia dan Shopee resmi, kamu akan lebih mudah mendapatkan produk asli.

Referensi:

1.  LeMoyne, T., & Buchanan, T. (2011). Does hovering matter? Helicopter parenting and its effect on well-being. Sociological Spectrum, 31(4), 399-418. Diakses pada 21 Juli 2023 dari https://journals.upi-yai.ac.id/

2.  Selviana & Mulyawardanu (2023). Hubungan Helicopter Parenting dengan Kepercayaan Diri Pada Siswa/i SMA Yadika 8 Bekasi. Jurnal Psikologi Kreatif Inovatif Vol 3 No 2 Juli 2023. Diakses pada 21 Juli 2023 dari https://journals.upi-yai.ac.id/index.php/PsikologiKreatifInovatif/issue/archive

3.  Love, H., dkk. (2019). Helicopter Parenting, Self-Control, and School Burnout among Emerging Adults. Journal of Child and Family Studies. Diakses pada 21 Juli 2023 dari https://doi.org/10.1007/s10826-019-01560-z